Rabu, 13 Oktober 2010

FORNIKASI


23.56 |

R. Diah Imaningrum Susanti *)


What is a name? Apalah arti sebuah nama? Bila bunga mawar diberi nama (maaf) tai pun, baunya tetap harum. Demikian kata Shakespeare. Beda dengan Soekarno. Everything’s a name, segala sesuatu punya nama. Nama mengandung konsekuensi. Apalagi nama perbuatan hukum. Seorang yang mengambil barang milik orang lain untuk dimilikinya secara permanen, dikatakan sebagai mencuri. Seorang yang merampas nyawa orang lain dikatakan melakukan pembunuhan biasa (manslaughter). Beda nama lagi jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu, namanya pembunuhan berencana (murder). Semuanya itu mengandung konsekuensi hukum, yakni dihukum atau tidaknya si pelaku dan berapa lama hukuman itu diancamkan padanya.
Apa nama suatu perbuatan hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat perkawinan? Selingkuh? Zina? Perbuatan asusila? Serong? Ketika perbuatan hubungan seksual dilakukan oleh orang yang diduga sebagai pesohor tanah air merebak dan menjadi pembicaraan di semua lapisan masyarakat, para pakar masih belum bersepakat mengenai “nama” perbuatan itu.
Selingkuh? Bukan. Karena selingkuh memiliki makna yang luas dan bisa mencakup perbuatan penyelewengan apa pun. Lihat saja KBBI yang memaknai selingkuh sebagai berarti (1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; (2) suka menyeleweng; (3) suka menggelapkan uang, korup.
Zina? Juga bukan. Ada padanan kata untuk perbuatan pidana “zina” dalam bahasa bahasa Inggris dan Belanda, yakni “adultery”(Inggris), dan “overspel” (Belanda). “Adultery” atau “overspel” adalah hubungan seksual didasarkan suka sama suka antara orang yang menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Jadi, untuk bisa dikatakan sebagai “adultery”, salah satu atau kedua pihak harus berada dalam ikatan perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, kedua istilah ini diterjemahkan sebagai “Zina”. Dalam hukum pidana pun, hal ini disebut sebagai perbuatan “zina”, yang menurut pasal 284 KUHP adalah hubungan persetubuhan di mana salah satu atau keduanya masih terikat perkawinan.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesusilaan, kehormatan, kesopanan, keadaban, mestinya, saya yakin, ada nama untuk perbuatan yang dilarang ini, setidaknya hal itu tercermin dalam bahasa hukumnya. Namun setelah saya cari-cari, saya tidak menemukannya juga. Saya tidak menemukan satu istilah pun yang memaknai konsep “perbuatan hubungan seksual yang dilakukan orang–orang yang tidak terikat perkawinan.” “Perbuatan asusila” sebagaimana yang tercantum dalam KUHP adalah istilah yang terlalu luas, yang bisa mencakup pelacuran, dsb.
Bahasa Jawa lebih kaya. Persetubuhan antara dua orang yang tidak terikat perkawinan disebut “kumpul kebo”. Tidak jelas mengapa harus kerbau yang dijadikan rujukan, padahal binatang selain kerbau pun bisa bersetubuh semaunya sesuai dengan naluri kehewanannya.
Dalam hukum masyarakat yang dikenal liberal dan menganut paham free sex, seperti Amerika, ternyata justru saya dapat menemukan nama untuk perbuatan “kumpul kebo” itu. Bahasa hukumnya memberi nama “fornication” untuk perbuatan hubungan seks sukarela antara dua orang yang tidak terikat perkawinan. Di Virginia, misalnya, fornication diperlakukan sebagai tindak pidana, tetapi di beberapa Negara bagian lainnnya masih dianggap sebagai pelanggaran ringan.
Belum ada nama Indonesia untuk fornication, perbuatan hubungan seksual antar orang yang tidak terikat perkawinan. Bahkan banyak pakar hukum yang mengatakan bahwa “perbuatan ini” bukan pelanggaran hukum. Kalau perbuatan yang dalam tataran moral dianggap salah dan mau ditingkatkan menjadi dalam tataran hukum salah juga, maka nama perbuatan menjadi penting. Istilah “kumpul kebo” mungkin kurang tepat, karena kumpul kebo bernuansa ada tenggang waktu yang relatif lama sehingga menyiratkan “hidup bersama” (samen leven).
Sementara menunggu para pakar Bahasa Indonesia berbicara, saya usulkan sementara meminjam istilah aslinya dengan disesuaikan dengan lidah Indonesia, yakni “fornikasi”, untuk perbuatan hubungan seksual antar orang yang tidak terikat perkawinan. Kalau communication disesuaikan sehingga menjadi menjadi komunikasi, publication menjadi publikasi, selection menjadi seleksi, mengapa fornication tidak mungkin menjadi fornikasi ?

*) R. Diah Imaningrum,
Dosen Bahasa Inggris Hukum
di Fakultas Hukum Unika Widya Karya,
dan anggota Mitra Bestari,
Pusat Kajian Agama dan Kebudayaan “Aditya Wacana” Malang.


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar